10 Tokoh Sastra yang Punya Pengaruh Besar di Indonesia
Hi, Welcome to my blog!
Pengaruh tokoh sastra Indonesia tidak hanya terasa di dalam negeri, tetapi juga di kancah internasional. Karya-karyanya ada yang telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa.
Sastra merupakan cermin dari budaya dan kehidupan masyarakat. Perkembangan sastra Indonesia dari masa ke masa tentu saja tidak lepas dari tokoh-tokoh sastra yang telah memberikan pengaruh besar melalui karya-karya mereka.
Mereka tidak hanya menjadi cerminan kehidupan sosial dan politik, namun juga mampu menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya.
Pada mulanya, karya sastra Indonesia yang dikenal sebagai karya sastra klasik disebarkan dari mulut ke mulut sehingga tidak ada tokoh sastra yang pasti pada masa itu.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, karya sastra Indonesia pun kian berkembang berupa pantun, syair, gurindam, dongeng, maupun cerita rakyat.
Deretan Tokoh Sastra Indonesia yang Terkenal dan Berpengaruh
Meski bukan yang terbesar, namun beberapa tokoh sastra berikut ini terkenal dan memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan dunia sastra di Indonesia.
1. Abdul Muis
Abdul Muis lahir di Bukittinggi pada 3 Juli 1886 dan meninggal di Bandung pada 1959. Ia adalah alumnus Sekolah Eropa Rendah (European Lagere School) dan pernah belajar di Sekolah Kedokteran Stovia selama 3,5 tahun.
Namun ia memilih keluar karena sakit dan pergi ke Belanda untuk memperdalam pengetahuannya.
Dengan kemampuan bahasa Belanda yang baik, ia diangkat sebagai klerk (pekerja kantoran) oleh Mr. Abendanon, seorang Direktur Pendidikan, di Departemen van Onderwijs en Eredienst. Hal itu menjadikannya pribumi pertama dalam posisi tersebut.
Karya Abdul Muis yang terkenal adalah Salah Asuhan, di mana ia membahas masalah diskriminasi ras dan sosial dan pernah diadaptasi menjadi film oleh Asrul Sani pada 1972.
Karya-karya lainnya Abdul Muis di antaranya Suropati (1950), Putri Umbun-Umbun Emas (1950), Robert Anak Surapati (1952), Suara Kakaknya, dan Daman Brandal Sekolah Gudang.
2. Marah Roesli
Marah Roesli, salah satu tokoh sastra Angkatan Balai Pustaka, lahir di Padang pada 7 Agustus 1889 dengan nama lengkap Marah Rusli bin Abu Bakar.
Selain sebagai sastrawan, ia juga berprofesi sebagai dokter hewan dan menyelesaikan pendidikannya di Nederlands Indisch Veearsen School (NIVS), yang kini dikenal sebagai Kedokteran Hewan IPB.
Marah Roesli diakui sebagai pengarang roman pertama di Indonesia dan dijuluki Bapak Roman Modern Indonesia. Karya terkenalnya adalah Siti Nurbaya.
Karya tersebut memenangkan hadiah tahunan sastra dari Pemerintah Republik pada 1969 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia. Karya lain yang terkenal adalah La Hami (1924) dan Anak dan Kemenakan (1956).
Marah Roesli meninggal di Bandung pada 17 Januari 1968 dan dimakamkan di Bogor, Jawa Barat.
3. Amir Hamzah
Pria pemilik nama lengkap Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra Putra ini lahir di Langkat pada 28 Februari 1911 dan meninggal di Kwala Begumit, Binjai pada 20 Maret 1946.
Ia menyelesaikan pendidikan di HIS di Tanjungpura, MULO di Medan dan Jakarta, ANIS Al (Sastra Timur) di Solo, serta Sekolah Hakim Tinggi.
4. Chairil Anwar
Chairil Anwar adalah salah satu tokoh sastra paling berpengaruh di Indonesia. Ia dikenal sebagai pelopor puisi modern dan anggota Angkatan '45. Ia lahir pada 26 Juli 1922 di Medan, Sumatera Utara.
Chairil berasal dari keluarga yang memiliki latar belakang pendidikan yang baik. Ibunya, Saleha, berasal dari Payakumbuh. Sedangkan ayahnya, Toeloes bin Haji Manan, adalah seorang pegawai negeri yang pernah menjabat sebagai Bupati Rengat.
Chairil mulai menulis puisi pada tahun 1942, dengan karya pertamanya berjudul Nisan. Selama hidupnya, ia menghasilkan sekitar 94 karya, termasuk 70 puisi asli, serta beberapa prosa dan terjemahan.
Pada 28 April 1949, Chairil Anwar meninggal di usia 27 tahun karena berbagai penyakit. Hari kematiannya diperingati sebagai Hari Puisi Nasional di Indonesia.
5. Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer, atau akrab disapa Pram, lahir di Blora pada 6 Februari 1925 dan meninggal di Jakarta pada 30 April 2006. Selama hidupnya, ia menghasilkan lebih dari 50 karya yang diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa.
Menariknya, kreativitasnya justru muncul saat ia berada di penjara. Dinginnya tembok penjara tetap tidak mematikan jiwa seninya.
Karya-karyanya sangat beragam dan diakui secara internasional, seperti novel Keluarga Gerilja dan Perboeroean, yang memenangkan hadiah sastra Balai Pustaka pada 1950.
Setelah keluar dari pengasingan, Pramoedya menulis beberapa buku yang umumnya dilarang oleh Kejaksaan Agung, namun tetap diterbitkan dan disebarkan oleh penerbit luar negeri.
Beberapa karyanya yang terkenal antara lain Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), Rumah Kaca (1988), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1996), Arus Balik (1995), Arok Dedes (1999), dan Larasati (2000).
6. Sapardi Djoko Damono
Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai penyair yang inovatif dan berpengaruh dalam perkembangan puisi modern. Ia lahir pada 20 Maret 1940 di Surakarta, Jawa Tengah.
Sapardi adalah anak pertama dari pasangan Sadyoko dan Sapariah. Ayahnya yang merupakan abdi dalem di Keraton Kasunanan memberikan pengaruh budaya yang kuat dalam hidupnya.
Sapardi menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Kasatriyan, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 2 dan SMA Negeri 2 Surakarta.
Setelah lulus SMA, ia melanjutkan studi di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dengan mengambil jurusan Sastra Inggris.
Pada tahun 1970-1971, Sapardi memperdalam kajian kemanusiaan di University of Hawaii, Amerika Serikat.
Sapardi mulai menulis puisi sejak masih di SMA. Karya-karyanya pertama kali dimuat di surat kabar lokal saat ia masih remaja. Kumpulan puisi pertamanya adalah DukaMu Abadi (1969).
Beberapa puisi terkenal lainnya adalah Hujan Bulan Juni, Aku Ingin, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari.
7. Putu Wijaya
Putu Wijaya lahir di Puri Anom pada 11 April 1944 dengan nama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya. Ia adalah seorang sastrawan, penulis naskah drama, dan wartawan.
Ia menyelesaikan pendidikan di sekolah rakyat, SMP, dan SMA di Bali kemudian melanjutkan ke Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Ia juga belajar di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi) selama setahun.
Pada tahun 2018, ISI Yogyakarta memberikan gelar Doctor Honoris Causa kepadanya. Karya terbarunya adalah kumpulan drama pendek berjudul 100 DRAPEN, diterbitkan oleh Teater Mandiri di tahun yang sama.
Beberapa karyanya yang lain adalah drama Lautan Bernyanyi (1967), Anu (1974), Aduh (1975), Dag Dig Dug (1976), Edan (1977), dan Gerr (1986). Ia juga menulis kumpulan cerpen seperti Bom (1978), Es (1980), dan Gres (1982).
Selain itu, ia memiliki kumpulan puisi Dadaku adalah Perisaiku (1974) serta novel Bila Malam Bertambah Malam (1971), Telegram (1972), Pabrik (1976), dan lain-lain..
8. W.S. Rendra
W.S. Rendra memiliki nama asli Raden Mas Willibrodus Surendrea Broto, lahir di Solo pada 7 November 1935. Ia dikenal dengan julukan Si Burung Merak karena pesonanya saat mendeklamasikan puisi.
Rendra menempuh pendidikan di sekolah Katolik di Solo dari TK hingga SMA, lalu melanjutkan studi di Jurusan Sastra Barat, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada. Namun ia hanya meraih gelar sarjana muda.
Pada tahun 1968, ia mendirikan Bengkel Teater yang terkenal di Indonesia. Puisinya pertama kali diterbitkan pada tahun 1952 di majalah Siasat.
Karya-karya Rendra yang terkenal antara lain Ballada Orang-Orang Tercinta (1957), Empat Kumpulan Sajak (1961), Blues untuk Bonnie (1971), Sajak-Sajak Sepatu Tua, drama Buku Harian Seorang Penipu (1988), dan Panembahan Reso (1988).
Ia juga menulis cerpen seperti Ia Mencurigai Saya (1953) dan Ia Membelai Perutnya (1955).
9. Taufik Ismail
Taufik Ismail adalah sastrawan Angkatan 66 yang lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia (FKH UI) dan setelah lulus sempat menjadi dosen di IPB.
Karya paling terkenalnya adalah puisi Sajadah Panjang, yang populer setelah dijadikan lirik lagu oleh Bimbo.
Karya-karya terkenal lainnya meliputi puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani, Benteng, serta kumpulan sajak Manifestasi, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, dan Puisi-Puisi Langit.
10. Andrea Hirata
Andrea Hirata Seman Said Harun lahir di Belitong pada 24 Oktober 1967. Ia dikenal sebagai penulis novel best seller Laskar Pelangi (2005), yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa.
Andrea meraih gelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Indonesia dan kemudian mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi S2 di Universite de Paris, Sorbonne, Perancis, serta Sheffield Hallam University, Inggris.
Karya-karya lain yang ditulisnya antara lain Sang Pemimpi (2006), Edensor (2007), Maryamah Karpov (2008), Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas (2010), Sebelas Patriot (2011), Laskar Pelangi Song Book (2012), Sirkus Pohon (2017), Orang-Orang Biasa (2019), dan Guru Aini (2020).
.
Komentar
Posting Komentar